Rabu, 05 Agustus 2009

Penyidikan TP Kepabeanan dan Cukai

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEPABEANAN DAN CUKAI

Eddhi Sutarto
Pengajar Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Kristen Indonesia

Perlunya penegasan atas kewenangan penyidik PNS Bea dan Cukai atas tindakan penyidikan perkara tindak pidana kepabeanan dan cukai untuk memperjelas siapa yang berwenang dalam melakukan penyidikan perkara tersebut. Kewenangan penyidikan tersebut diatur dalam pasal 112 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan dan pasal 63 UU No. 11 tahun 1995 yang telah di rubah dan ditambah dengan UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai jo. PP No. 55 tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.

Pasal-pasal dalam Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa aparatur penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang bertugas di bidang Bea dan Cukai, hal ini selaras dengan asas Lex Specialis Derogate Legi Generali. Surat Jaksa Agung Republik Indonesiakepada Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia Nomor B-003/A/Ft.2/01/2009 tanggal 14 Januari 2009 perihal Pengendalian & Percepatan tuntuttan perkara tindak pidana kepabeanan dan cukai butir 3 disebutkan bahwa "Selanjutnya apabila menerima Berkas Perkara Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai selain penyidik instansi tyersebut diatas "agar ditolak" hal ini perlu diingatkan sebagai antisipatif jangan sampai terulang penyidikan yang keliru yang dilakukan oleh Penyidik Polri terhadap kasus Drs. M Nurdin Khalid dimana Pengadilan menolak Berkas Perkara karena menganggap Pejabat yang menyidik tidak berwenang.
Langkah Penyidik
Dalam melangkah pada tugas dan fungsinya sebagai penyidik termasuk penyidik kepabeanan dan cukai harusnya berpola pikir bahwa apa yang akan dikerjakan atau yang telah dikerjakan sudah dapat menggambarkan terpenuhinya peristiwa pidana dengan terang dan jelas disertai alat bukti yang cukup sehingga dapat dengan mudah dilakukan penuntutan karena alat bukti yang cukup tersebut telah bersesuaian dan berfokus dan mengarah pada peristiwa pidana yang dapat dibuktikan benar dan telah terjadi. Hal ini berarti bahwa apa yang dilakukan penyidik dalam mengngungkap suatu peristiwa pidana dan terangnya sebuah perkara dilakukan dengan mengumpulkan serangkaian alat bukti sebagaimana di kehendaki pasal 183 dan 184 KUHAP

Berkas perkara atau yang lazim dikenal sebagai hasil penyidikan, dapat dilimpahkan ke pengadilan, apabila telah memenuhi kelengkapan formil dan materiil dari suatu berkas perkara atau hasil penyidikan. Perlu juga disampaikan disini bahwa selain kelengkapan formil dan materiil tersebut terdapat ketentuan yang diatur pada pasal 76 ayat 1 KUHP, bahwa suatu perbuatan tidak dapat di tuntut dua kali (nebis in idem) dan pasal 78 ayat 1 KUHP karena telah dipenuhinya masa kadaluwarsa, atau pasal 83 KUHP jika tersangka atau terdakwa telah meninggal dunia.

Patut juga di perhatikan adanya ketentuan yang diatur pada 56 jo pasal 114 KUHAP bahwa tersangka mempunyai hak untuk didampingi penasehat hukum dan bahkan pasal 116 KUHAP tersangka memiliki hak untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya. Selain itu disebutkan pula pada pasal 117 KUHAP bahwa keterangan tersangka dan atau saksi diberikan tanpa adanya paksaan dari siapapun dan dalam bentuk apapun, disamping pasal-pasal yang lain terkait dengan penyidikan misalnya: syarat sahnya suatu penggeledahan (pasal 33 ayat 3,4,5 KUHAP). syarat sahnya suatu penyitaan sebagaimana diatur pada pasal 45 KuHAP, syarat sahnya suatu penerimaan surat sebagaimana diatur pada pasal 47 KUHAP dan pasal 48 KUHAP syarat sahnya suatu pembukaan dan pemeriksaan surat, disamping juga syarat sahnya suatu sumpah atau janji pasal 113 KUHAP, disamping juga yang tidak kalah penting yaitu pemenuhan ketentuan pasal 113 KIHAP tentang syarat sahnya suatu permintaan keterangan di tempat kediaman tersangka atau saksi.

Penyidikan dianggap telah selesai umumnya di pahami dari hitungan waktu 14 hari penuintut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau dapat juga sebelum waktu di maksud berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal tersebut kepada penyidik. Penuntut Umum yang telah menerima hasil penyidikan dalam rentang waktu 7 hari dan dalam waktu 7 hari beikutnya menyatakan kurang lengkap, penuntut umum berkewajiban segera mengemnbalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi penyidik. Selanjutnya penyidik berkewajiban melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang telah di berikan dan segera mengembalikan berkas perkara yang telah dilengkapi kepada penuntut umum dalam waktu 14 hari.


Patut mendapat perhatian bahwa sanksi pidana yang diatur di dalam Undang-Undang RI No, 10 tahun 1995 yang telah diperbarui dan ditambah dengan UU No. 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang cukai telah mengatur khusus delik Kepabeanan dan Cukai yang dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-undang tersebut, dengan demikian selaras dengan surat Jaksa Agung tersebut diatas yang menyebutkan bahwa kepada para Kajari agar memperhatikan secara cermat materi pokok perkara Tindak Pidana Ekonomi untuk tidak di Yonctokan atau dihubung-hubungkan dengan pasal 480 atau pasal-pasal lain.

Selaras dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 139 KIHAP Penuntut Umum menentukan apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi syarat untuk dapat atau tidaknya di limpahkan ke Pengadilan setelah tanngung jawab terhadap tersangka dan barang bukti beralih dari penyidik tindak pidana kepabeanan dan cukai ke Penuntut Umum. Dalam hal telah terpenuhinya syarat syarat dimaksud maka sebagaimana dimnaksud pada pasal 140 ayai 1 KUHAP Surat Dakwaan dan pelimpahan ke Pengadilan segera dilakukan oleh Penuntut Umum dan turunan surat pelimpahan beserta Surat Dakwaan tersebut disampaikan kepada terdakwa/Penasehat Hukum dan Penyidik hal ini diatur pada pasal 143 ayat 4 KUHAp.

Penghentian Penuntutan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) sesuai ketenrtuan Pasal 140 ayat 2 huruf a, dapat dilakukan oleh Penuntut Umum dalam hal PU menilai bahwa perkara tersebut tidak cukup bukti, perbuatan tersebut bukan tindak pidana atai dihentikan demi hukum seperti daluwarsa, terdakwa meninggal dunia atau nebis in idem


Terakhir dalam tulisan ini disampaiakan bahwa tidak tertutup kemungkinan terjadi persidangan in absentia atau persdidangan tanpa kehadiran terdakwa. Persidangan ini sebenarnya mengacu pada prinsip bahwa Pengadilan tidak boleh menolak menyidangkan suatu perkara. Hal ini diperkuat dengan ketentuan pasal 16 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

(Semoga bermanfaat)

1 komentar:

  1. Selamat malam, ada yang ingin saya tanyakan terkait kewenangan pejabat bea dan cukai..bahwa sanksi pidana di dalam UU no. 10 tahun 1995 yg di perbaharui dengan UU no. 17 tahun 2006 tentang kepabeanan dan UU no. 11 tahun 1995 yg di perbaharui dengan UU no. 37 tahun 2007 tentang cukai ada sanksi administrasi dan ada sanksi pidana kurungan (penjara) untuk perbuatan yg sama..misal terhadap ketidak benaran penyampaian informasi barang yg di bawa..pertanyaan nya, kapan sanksi administrasi di kenakan dan kapan sanksi pidana penjara di berlakukan? Karena tidak ada syarat kualitatif atau kuantitatif di dalam UU sehingga dpt membedakan kapan pengenaan sanksinya..selanjutnya tindakan yang di lakukan oleh pegawai bea dan cukai memberhentikan orang atau kendaraan dan melakukan pemeriksaan terhadap barang yang diangkut dan atau memeriksa dokumen-dokumen pengangkutan barang itu, apakah merupakan tindakan penyidikan?

    BalasHapus